Menikmati Sunrise di Pantai Sarangan


Kulari ke hutan kemudian menyanyiku,

Kulari ke pantai kemudian teriakku…

Itulah sepenggal puisi karangan Rako Prijanto, yang kemudian nge-hits gara-gara film AADC di tahun 2002. Tidak, saya tidak akan membahas film AADC walaupun demamnya masih terasa sampai sekarang.

IMG_1778

Kurang paham dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan si penulis lewat puisi itu. Namun,mungkin saat itu si penulis merasakan hal yang hampir sama dengan saya. Penat, capek, dipusingkan dengan masalah kerjaan, dsb. Rasanya ingin lari sejenak dari segala kesibukan, refreshing.

Lalu itulah yang saya lakukan. Jika Rako Prijanto bingung mau ke hutan atau belok ke pantai, maka saya memilih untuk langsung ke pantai.

Jpeg

Dari atas bukit Jujugan

https://www.instagram.com/p/BFDyjaHtlyj/

Walau bisa disebut liburan, sebenarnya ini tidak sepenuhnya liburan. Saya membawa rombongan anak-anak SMP, which are my students. Kami mengadakan acara field trip di pantai Sadranan, Gunungkidul selama 2 hari.

Di hari kedua, kami bangun pagi-pagi sekali dan atas saran owner homestay yang kami tinggali, kami trekking dari pantai Sadranan ke pantai Sarangan. Pantai Sarangan ini letaknya sekitar 1,5 km di sebelah barat Pantai Sadranan.

IMG_1772

Perbukitan Seribu di sisi utara pantai

IMG_1774

Pukul 5 pagi kami berangkat dari homestay. Setelah kurang lebih 30 menit trekking dan sedikit naik bukit, sampailah kami di puncak Bukit Jujugan, sebuah bukit kecil di sebelah barat pantai Sarangan. Dari atas bukit ini, kami bisa melihat jauh ke timur sampai pantai Sundak dan ke barat sampai mercusuar pantai Baron. Hamparan biru laut yang luas pun bisa dengan jelas kami lihat.

I was speechless. Itu adalah kali pertama saya menemukan spot seindah itu di jajaran pantai selatan. Benar-benar pemandangan yang komplit. Ditambah pula semilir angin pagi yang sejuk, benar-benar suasana yang menenangkan.

IMG_1773

Tujuan awal kami adalah melihat sunrise. Awalnya kami sempat khawatir tidak dapat sunrise karena langit di sisi timur tertutup awan mendung. Beberapa dari kami, termasuk saya, juga sempat lupa dengan tujuan awal kami kami terpesona dengan pemandangan sekitar dan sibuk berfoto-foto.

IMG_1785

Tepat pukul enam matahari mulai menampakkan diri. Sedikit demi-sedikit awan mendung mulai menipis digantikan semburat oranye di sisi timur pantai. Kami pun langsung ambil spot terbaik, kamera ready, dan ketika matahari berada di titik terbaiknya, kami pun berlomba-lomba mengabadikannya melalui mata kamera kami. Namun, apa yang dilihat mata kami jauh lebih indah daripada yang terekam mata kamera, believe me.

https://www.instagram.com/p/BFAnH0Qtl2m/

Melihat sunrise sudah, foto-foto pun sudah. Dan karena perut juga sudah minta diisi, pukul 6.30 kami semua kembali ke homestay. Di perjalanan pulang, kami melewati beberapa pantai sebelum akhirnya sampai ke Sadranan. Pantai ini tidak kalah indahnya.

IMG_1788

pantai Krakal

IMG_1790

Persis di sebelah timur pantai Sarangan ada pantai Krakal yang baru-baru ini juga terkenal untuk surfing. Di sebelah Krakal ada pantai Slili, pantai yang relatif sepi namun tak kalah indah dari pantai-pantai di sekitarnya. Jadilah kami sekali jalan, dua tiga pantai terlampaui.

So, selamat jalan-jalan. Selamat menikmati pesona laut selatan.

Hunting Foto yang “Instagram-able” Sambil Mengenal Binatang di GL Zoo


Bicara soal landmark Jogja, sudah pasti Tugu yang terlintas di pikiran. Tapi tau nggak sih, selain Tugu ada juga lho landmark lain yang layak dikunjungi juga di Jogja.

IMG_20160308_163017

Pada awalnya, GL Zoo ini bernama Kebun Binatang Gembira Loka. “Gembira” artinya gembira dan “loka” berarti tempat. Ide awal pembangunannya datang dari Sultan Hamengkubuwono VIII pada tahun 1933 yang menginginkan mempunyai tempat hiburan rakyat  berupa kebun raya (kebun rojo).

Processed with VSCO with t1 preset

Salah satu koleksi burung di GL Zoo

Walaupun sudah dicetuskan dari tahun 1933, pembangunannya baru bisa terealisasi pada tahun 1953 di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwono IX.

https://www.instagram.com/p/BDryl33Nl4A/

Dalam perkembangannya, Gembira Loka mengalami pasang surut. Selain masalah berkurangnya pengunjung, Gembira Loka juga mendapat sorotan karena dianggap kurang memperhatikan kondisi satwa di sana. Kebersihan juga sempat menjadi sorotan publik, yang membuat jumlah pengunjung berkurang.

https://www.instagram.com/p/BDQJN1WNl5d/

Processed with VSCO with f2 preset

Blue insularis

Namun sejak tahun 2010, Gembira Loka mulai berbenah diri. Kandang-kandang yang tadinya dinilai tidak animal friendly mulai direnovasi. Kebersihan sekarang sangat diperhatikan. Bahkan dibangun pula “Bird Park” dan taman reptil dan amphibi.

Processed with VSCO

Processed with VSCO with t1 preset

Bird Park at GL Zoo

Sekarang, datang ke GL Zoo bukan hanya sekadar untuk belajar mengenal binatang. Banyak anak muda yang mengunjungi GL Zoo karena tempatnya yang Instagram-able. Hampir setiap sudut GL Zoo layak jadi background profile picture.

https://www.instagram.com/p/BE0Hia0tlyI/

Processed with VSCO with c1 preset

Travel mate

Walaupun sudah banyak perubahan positif yang dilakukan, masih ada beberapa PR yang harus dikerjakan manajemen GL Zoo. Permasalahan ini sebenarnya juga dialami banyak kebun binatang di dunia. Atraksi satwa bagi para pecinta binatang dianggap tidak pantas dilakukan dan harus segera dihentikan.

Bagi penonton mungkin menyenangkan melihat seekor beruang madu mengendari sepeda roda satu atau mungkin menyaksikan gajah bermain sepak bola. Namun yang terjadi di belakang panggung tidak semenyenangkan di  depan panggung. Para satwa ini ‘dipaksa’ untuk menuruti keinginan si pawang. It’s indescribable. That’s terror for the animals.

Sebagai pihak yang tidak terlibat langsung memang rasanya sulit menghentikan hal tersebut. Namun dengan tidak ikut menonton atraksi satwa, berarti kita sudah mendukung aksi anti kekerasan terhadap satwa.

Lokasi

Jalan Kebun Raya No.2 Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Harga Tiket

Senin – Jumat Rp 25.000

Sabtu-Minggu atau hari libur nasional Rp 30.000

Jam Operasional

Senin-Minggu | Jam 08.00 – 17.30

#JelajahPantai: Dari Nglambor Hingga Sadranan


“In every outthrust headland, in every curving beach, in every grain of sand there is the story of the earth.” 

Rachel Carson –

Bagi saya, pantai tidak pernah gagal memesona. Apalagi memiliki kesempatan untuk mengunjungi berbagai pantai yang memiliki karakteristik yang berbeda pula. It’s paradise!

2016-02-27 05.38.19 1.jpg

Gunungkidul adalah salah satu daerah yang memiliki garis pantai yang panjang. Dari ujung barat di pantai Baron hingga pantai Wediombo di ujung timur. Setelah beberapa yang waktu berkesempatan menghabiskan sore di pantai Drini, kali ini saya akan berbagi cerita tentang pengalaman saya jelajah pantai, dari Nglambor hingga Sadranan.

FIRST DESTINATION: NGLAMBOR

Terletak di sebelah barat pantai Siung, Nglambor terkenal dengan wisata snorkeling-nya. Menarik tentu saja. Bagaimana tidak? Di barisan pantai selatan yang terkenal ganas karena ombaknya yang besar, ada tempat yang bisa untuk snorkeling.

2016-02-27 05.38.42 1.jpg

Ada mitos yang dipercaya masyarakat setempat yang mengatakan bahwa pantai ini dilindungi oleh dua kura-kura raksasa. Karena itulah, pantai Nglambor dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Jika dilihat dari fitur geografisnya, pantai Nglambor memang ditutupi oleh dua pulau karang raksasa. Pulau-pulau karang ini pada akhirnya berfungsi sebagai pemecah ombak – menghalangi ganasnya ombak dari Samudera Hindia mengehempas tepian pantai.

2016-02-27 05.38.33 1.jpg

Saat kami sampai di sana, ombak sedang tinggi. Niat bermain air dan mencoba snorkeling pun kami urungkan. Akhirnya, kami hanya melihat-lihat saja. Mencoba turun ke bawah, menapakkan kaki di pasir pantai, dan merasakan ombak pantai Nglambor.

https://www.instagram.com/p/BCUp6cAtl9_/

 

SECOND DESTINATION: JOGAN

Dalam bahasa Jawa, jogan berarti lantai. Sebelum melihat secara langsung, yang ada dalam pikiran saya, pantai Jogan memiliki sesuatu yang terlihat seperti jogan. Ketika sampai di tujuan, saya bertanya-tanya di manakah jogan-nya?

Tidak seperti pantai-pantai pada umumnya, pantai Jogan ini memiliki air terjun yang airnya langsung jatuh dari atas tebing ke bibir pantai. Mungkin, nama jogan diambil dari tebing air terjun yang menyerupai jogan (lantai). Tapi, terlepas dari benar atau tidaknya hipotesis saya, pantai Jogan memang unik. Tidak banyak pantai yang memiliki penampakan seperti ini.

2016-02-27 05.38.26 1.jpg

Sewaktu kami di sana, debit air tidak terlalu banyak karena hujan sudah agak lama tidak turun. Jadilah air yang turun dari atas tebing pun hanya sedikit. Penduduk sekitar bilang kalau pemandangan akan terlihat lebih indah saat musim hujan. Debit air akan meningkat dan air yang turun dari atas tebing akan terlihat lebih indah.

Karena tidak ingin basah-basahan dulu, kami memutuskan untuk tidak turun ke bawah tebing. Selain itu, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12. Kami memutuskan untuk beranjak pergi ke barat, menuju pantai berikutnya dan mengisi perut yang mulai keroncongan.

THIRD DESTINATION: SADRANAN

Saya kaget saat menginjakkan kaki di pantai Sadranan. Enam tahun berlalu sejak terakhir kali saya berkunjung di sini dan suasananya sudah sangat berubah. Sadranan yang bak pantai pribadi saat itu sudah berubah menjadi pantai yang penuh dengan manusia. Deretan gazebo dan cottage memenuhi pinggir pantai. Belum lagi deretan payung-payung dan persewaan alat snorkeling.

Processed with VSCO with f2 preset

Memang, dibanding pantai-pantai yang lain, ombak di pantai Sadranan relatif tenang. Namun, saya baru tahu kalau ternyata bisa snorkeling di sini.

Karena matahari sangat terik waktu itu, kami memutuskan untuk berteduh di bawah payung. Jadilah kami menyewa satu payung beserta tikarnya. But, still we can feel the heat.

https://www.instagram.com/p/BCUGmWatlzT/

However, perut lapar dan minta diisi. Bekal roti dan beberapa cemilan pun kami santap. Setelah energy kembali full, sekitar pukul 2 kami memutuskan untuk mencoba snorkeling. Jujur, sebenarnya saya takut. Karena selain tidak pandai berenang, snorkeling, ini baru kali pertama saya akan mencobanya.

Berbakal uang 35K kami sudah bisa menyewa peralatan snorkel dan mendapatkan foto underwater. Ternyata, snorkeling itu tidak mudah. Membiasakan diri untuk bernafas menggunakan mulut ternyata tidak semudah yang terlihat. Seringkali air laut masuk dalam mulut dan tertelan. Terkadang, karena panik, air laut pun masuk ke hidung. We failed at the first try.

2016_0227_141502_050.JPG

Butuh waktu yang tidak sedikit untuk bisa menyesuaikan diri. Saat akhirnya bisa bernafas lewat mulut dengan benar, ombak menghempas dan membawa badan ke arah yang sama sekali tidak saya kira; kadang ke kanan, kadang ke kiri, kadang maju, kadang juga mundur. It was so difficult to stay still or move to your desired-destination. Selain itu, saya juga takut kalau-kalau menginjak terumbu karang. Jadilah dengan kemampuan seorang amatir, saya berusaha sebisa mungkin menyelam dengan hati-hati agar tidak menginjak terumbu karang – and forgive me if I did.

https://www.instagram.com/p/BCUomqctl7s/

Karena tidak memakai celana panjang, kaki kami pun akhirnya harus mengaku kalah dari tajamnya karang. Setelah sampai di bibir pantai kami baru sadar kalau kaki kami sempat bersentuhan dengan terumbu karang. Rasanya perih. Jadi bagi kalian yang ingin melakukan snorkeling di Sadranan, disarankan untuk memakai celana panjang, ya.

https://www.instagram.com/p/BCSeB6XNlyI/

Puas bermain-main, kami pun rehat sejenak. Gerimis sempat turun sore itu. Menarik karena saya tidak pernah menjumpai hujan di pantai sejauh ini. Setelah gerimis reda, sudah saatnya kami berpamitan dengan laut yang biru dan memutuskan untuk pulang.

#JelajahPantai: Berburu Sunset ke Pantai Drini


Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Yogyakarta yang mempunyai garis pantai yang panjang, dimulai dari Pantai Baron di ujung barat hingga Pantai Wediombo di ujung timur. Walaupun memiliki ombak yang cukup ganas karena berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, pantai-pantai di sepanjang Gunungkidul ini tetap menarik perhatian banyak orang. Masing-masing pantai mempunyai ciri khasnya sendiri.

Jpeg

Beberapa waktu yang lalu, bersama beberpa teman, saya akhirnya bisa menghirup bau pantai setelah sekian lama. Terakhir kali main ke pantai rasanya sudah sekitar 2-3 tahun yang lalu. Itu pun saat liburan lebaran, di mana pantai dipenuhi lautan manusia – tidak ada kesempatan untuk menikmati suasana pantai.

Pantai Drini menjadi tujuan kami. Ada beberapa alasan kenapa kami memilih lokasi ini. Pertama, kami sedang berburu sunset. Kedua, kami mencari pantai yang punya sedikit kemungkinan dipadati pengunjung mengingat hari itu hari Sabtu.

2016102171235.jpg

FYI, saya adalah penduduk asli Gunungkidul, jadi kami berangkat kira-kira pukul 2 siang setelah menunggu teman kami yang lain dari Jogja. Dari rumah, yang terletak di tengah kota Wonosari, sampai ke area pantai diperlukan waktu kira-kira 1-1,5 jam. Jadilah kami sampai di pantai sekitar pukul 3 – atau setengah 4, saya lupa. Matahari masih cukup tinggi dan ternyata perkiraan kami yang kedua salah. Pantai ramai pengunjung. Mungkin ini karena pesona Puncak Kosakora yang sedang nge-hits.

P1030155.JPG

Pantai Drini 6 tahun yang lalu (2010)

Penampakan Pantai Drini sudah banyak berubah dari terakhir kali saya ingat, sekitar 5-6 tahun lalu. Waktu itu masih banyak pandan laut di sepanjang pantai bagian timur dan pulau karang kecil yang membelah Drini menjadi dua pun masih tampak asing. Tak banyak orang yang berani menyeberang ke sana dan mendaki.

Jpeg

Pantai Drini 2016

Sekarang, tidak ada lagi deretan pandan laut yang hijau. Mereka digantikan gazebo-gazebo kecil dan payung berwarna-warni yang berderet memanjang di sepanjang pantai. Walau begitu, pesona Pantai Drini masih memikat. Laguna di sisi timur yang tenang dan panatai di sisi barat dengan ombak yang “garang” ditambah pulau karang kecil di tengah-tengahnya – yang sekarang lebih terkenal dengan bukit Kosakora – memberikan pemandangan yang luar biasa.

https://www.instagram.com/p/BACrpoGNl4B/

Cukup lama kami menunggu, akhirnya perlahan matahari mulai turun. Pengunjung sudah mulai berkurang. Sedikit sepi dan warna kuning keemasan mulai mewarnai langit di sebelah barat. Kami pun bergegas berpindah ke sisi barat pantai, mencari spot terbaik untuk mengabadikan sunset melalui mata kamera ponsel kami.

Walaupun langit sore itu tidak begitu cerah karena hujan belum lama mengguyur Wonosari, namun sunset yang kami lihat tetap luar biasa, beautiful! Beaches never fail me, indeed. Ah, tidak sabar untuk menjelajah pantai-pantai lainnya di lain kesempatan.

#TurLandmark: Belajar Sejarah dari Vredeburg dan Keraton


 

2016-02-13 08.44.27 1.jpg

Untuk bisa menikmati liburan itu sebenarnya nggak perlu waktu yang lama kok. Kadang, sehari pun cukup untuk bisa me-refresh pikiran dan badan kita. Caranya yaitu dengan memilih destinasi wisata yang jaraknya berdekatan.

Beberapa waktu yang lalu saya menghabiskan weekend dengan tur landmark. Di Jogja, sebenarnya ada banyak landmark yang patut dikunjungi. Ada Malioboro, Keraton, Tugu, Candi Prambanan, Candi Boko, dan banyak lagi.

Kali ini saya memilih untuk mengunjungi Benteng Vredeburg dan Keraton. Dua tempat ini dipilih, karena selain letaknya yang berdekatan, waktu yang tersedia hanya satu hari – tidak akan cukup untuk mengunjungi semua landmark di Jogja.

Destinasi 1: Benteng Vredeburg

PhotoGrid_1455372885695[1]

Benteng Vredeburg ini terletak di kawasan Malioboro, tepatnya di bagian selatan. Benteng yang sekarang berfungsi sebagai museum ini beroperasi dari hari Selasa-Minggu. Tiket untuk orang dewasa hanya Rp 2000 dan Rp 1000 unruk anak-anak dan pelajar. Museum ini juga menyediakan pemandu bagi yang menginginkan, plus free charge. Pihak museum tidak menarik biaya untuk jasa pemandu. Tapi kalau nggak tega, ya, kalian bisa memberikan fee seikhlasnya.

Berdiri kokoh di seberang Gedung Agung, Benteng Vredeburg ini dibangun pada tahun 1755. Pada awal pembangunannya, bentuk bangunan Vredeburg sangat sederhana. Waktu itu, benteng ini digunankan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memantau kondisi Keraton. Selanjutnya, ketika terjadi pergantian kepemimpinan di pemerintahan Belanda, benteng ini pun diperbaiki dan diberi nama Rustenberg.

Processed with VSCO with f2 preset

Bentuk bangunan, nama, dan fungsinya pun berganti-ganti seiring dengan pergantian kekuasaan di Yogyakarta. Dari yang bernama Rustenberg, benteng ini berubah nama menjadi Vredeburg setelah terjadi gempa besar di Jogja pada tahun 1867 dan dilakukan pemugaran. Saat ini, Vredeburg digunakan sebagai museum yang menyimpan berbagai benda peninggalan jaman perang. Selain itu, di sini juga terdapat diorama yang menceritakan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Processed with VSCO with f2 preset

 

Isi dan penataan museum sekarang ini sudah jauh lebih menaraik daripada dulu. Kesan seram dan membosankan yang biasanya melekat pada museum tidak terasa di sini. Begitu masuk gedung, saya langsung mendapati layar interaktif yang berisi keterangan benda-benda peninggalan sejarah. Ada juga area bermain untuk anak-anak. Ada beberapa jenis permainan yang tentu saja, selain menyenangkan juga bisa menambah pengetahuan anak-anak tentang sejarah.

Destinasi 2: Keraton

2016-02-13 08.51.42 1.jpg

Keraton terletak tidak jauh dari Benteng Vredeburg. Sebenarnya, berjalan kaki pun sampai, tapi saya memutuskan untuk naik motor saja karena matahari begitu terik waktu itu. Walaupun kalau ditarik garis lurus, Vredeburg dan Keraton itu sangat dekat, namun saya harus mengambil jalan memutar karena sedang ada pengerjaan jalan waktu itu.

Pertama kali masuk kompleks Keraton, kesan yang saya dapatkan adalah ‘sayang’ – sayang bangunan semegah itu tidak dirawat dengan baik. Di bagian museum, benda-benda yang dipamerkan di sana terkesan berdebu. Bahkan, kadang saya merasa sedikit merinding ketika akan masuk ruangan – agak spooky memang. Padahal, ada banyak hal yang bisa dipelajari di sini, sejarah dan budaya kota Yogyakarta.

Processed with VSCO with x1 preset

Saat itu saya langsung teringat kata-kata seseorang – yang lupa entah siapa – mengapa Istana Buckingham di Inggris atau Versailles di Prancis jauh lebih menarik dari Keraton Yogyakarta? Bukan, bukan semata-mata karena mereka beerada di luar negeri. Bukan karena keduanya lebih besar. Jawabannya lebih pada perawatan.

Coba saja kalau pemrintah daerah dan pihak Keraton mengalokasikan sedikit lebih banyak dananya untuk perawatan Keraton. Saya yakin wajah Keraton akan terlihat lebih menarik, lebih bersih, lebih sejuk. Kalau sudah lebih cantik, saya juga yakin, pasti akan lebih banyak orang yang mau mengunjungi Keraton.

Processed with VSCO with f2 preset

Overall, waktu yang dibutuhkan untuk mengunjungi dua tempat itu hanya setengah hari. Namun saya memutuskan untuk menyudahi penelusuran saya di Keraton dan pulang. Biaya yang saya habiskan selama satu hari itu kurang lebih sebagai berikut.

Tiket Benteng Vredeburg                             : Rp 2000

Parkir motor Benteng Vredeburg             : Rp 2000

Tiket Keraton                                                     : Rp 5000

Total                                                                      : Rp 9000

Murah, bukan? By the way, itu belum termasuk uang bensin dan makan, ya. So, bagi kalian yang ingin berwisata tapi nggak punya waktu banyak, Benteng Vredeburg dan Keraton bisa jadi alternatif destinasi wisata kalian.

 

 

 

#JelajahCandi: Menikmati Pesona Candi Abang, Ijo, dan Sambisari


“The journey of a thousand miles begins with a single step.”

Lao Tzu

Jogja itu punya banyak pilihan destinasi wisata, salah satunya wisata candi. Prambanan merupakan salah satu primadona wisata candi ini. Namun kali ini bukan Prambanan tujuan wisataku. Bersama seorang temanku, kami berencana untuk jelajah candi, yang sebenarnya tidak kalah memesona namun belum banyak di-explore.

First Destination: Candi Abang

PhotoGrid_1435262696153

Candi Abang ini termasuk destinasi wisata baru di Jogja. Walau masih tergolong baru, Candi Abang langsung bisa membius warga Jogja dengan keunikannya. Terletak di Dusun Sentonorejo, Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Sleman, Candi Abang tidak terlihat seperti candi kebanyakan. Bangunan candi yang sudah tertutup tanah selama mungkin ratusan tahun membuat candi ini terlihat seperti sebuah bukit. Oleh karena itu, banyak orang juga menyebutnya sebagai bukit Teletubbies—karena bentuknya yang mirip bukit pada serial anak Teletubbies.

IMG_20150625_222947

Menurut para ahli, Candi ini diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-9 dan ke-10 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi yang berbentuk seperti piramida ini dinamakan Candi Abang karena terbuat dari batu bata yang berwarna merah (abang dalam bahasa Jawa). Ukuran alas Candi Abang adalah 36×34 m dan tingginya belum bisa diperkirakan. Candi ini diperkirakan berbentuk seperti piramida, dengan sumur di tengahnya. Belum diketahui pula apakah akan dilakukan ekskavasi ataupun pemugaran pada Candi Abang ini.

IMG_20150625_165627

Saat ini sepertinya pemerintah belum turun tangan membantu pengelolaan dan pengembangan Candi Abang. Sejauh yang bisa kami lihat, destinasi wisata yang satu ini masih dikelola warga setempat—bisa dilihat dari tempat parkir dan akses masuk candi yang masih meminjam tanah milik warga. Belum ada petunjuk jalan yang jelas untuk bisa ke candi ini. Namun jangan khawatir, hanya dengan bantuan aplikasi Waze, kalian akan bisa sampai dengan selamat. FYI, itulah yang kami lakukan saat melakukan jelajah candi ke Candi Abang ini.

Second Destination: Tebing Breksi

Sebelum ke candi yang kedua, kami mampir dulu ke Tebing Breksi yang kebetulan letaknya berdekatan. Mulanya, bukit ini hanyalah sebuah tambang batu biasa yang menyerupai bukit kecil setinggi kurang lebih 20 m. Namun akhir-akhir ini, para wisatawan yang hendak berkunjung ke Candi Ijo menyempatkan diri mampir ke tempat ini untuk sekadar berfoto.

IMG_20150625_220304

2015-06-26 10.13.23 1

Selain tampak eksotis, Tebing Breksi juga menawarkan pemandangan lanskap yang luar biasa. Katanya, dari atas tebing, kalian bisa melihat Candi Prambanan, Candi Sojiwan dan Candi Barong yang dilatari oleh gagahnya Merapi. Yet, since we arrived there right when the sun was above our heads, kita nggak betah lama-lama di sana—believe me, it was so hot there. Jadi ya, kami cuma keliling-keliling dan foto-foto sekadarnya aja.

Third Destination: Candi Ijo

Terletak di bukit dengan ketinggian sekitar 410 mdpl, Candi Ijo menjadi candi tertinggi di Jogja. Karena ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di bawahnya; daerah pertanian sampai pemukiman warga. Meski bukan daerah yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.

IMG_20150625_215334

Menurut sejarah, Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau atau Gumuk Ijo. Nah, dari situlah awal mula candi ini disebut dengan sebutan Candi Ijo. Jadi, bukan karena bangunan candinya berwarna hijau, ya.

IMG_20150625_233704

Kompleks candi terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Teras pertama sekaligus halaman menuju pintu masuk merupakan teras berundak yang membujur dari barat ke timur. Bangunan pada teras ke-11 berupa pagar keliling, delapan buah lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama, dan tiga candi perwara. Peletakan bangunan pada tiap teras didasarkan atas kesakralannya. Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling sakral.

IMG_20150625_181704

Di bagian bawahnya masih ada beberapa candi kecil yang masih dalam proses pemugaran—beberapa malah dalam proses ekskavasi. Dilihat dari luasnya kompleks candi dan banyaknya bangunan candi, bisa jadi dahulu Candi Ijo ini merupakan salah satu pusat peribadatan umat Hindu yang besar.

Fourth Destination: Candi Sambisari

“Lho, candinya di sebelah mana, Vit?” Itulah kalimat pertama yang diucapkan temanku saat sampai di pintu masuk kompleks candi Sambisari—and likely, those who haven’t visited Candi Samisari before will have the same question. Wajar saja pertanyaan itu keluar, sebab Candi Sambisari berada 6,5 m lebih rendah dari wilayah sekitarnya. Jadi, dari kejauhan tentu bangunan candi tidak akan terlihat.

2015-06-26 11.03.33 2 

Terletak di Dusun Sambisari, Kelurahan Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman—10 kilometer dari pusat kota Yogyakarta—Candi Sambisari ini diperkirakan dibangun antara tahun 812-838 M, kemungkinan pada masa pemerintahan Rakai Garung. Kompleks candi terdiri dari 1 buah candi induk dan 3 buah candi pendamping. Katanya, dibutuhkan 21 tahun lho, untuk menggali dan menyusun kepingan batu-batu candi menjadi bangunan candi yang seperti sekarang. Salut deh, buat para arkeolognya.

PhotoGrid_1435326994292

Candi Sambisari ini merupakan destinasi terakhir kami. Memang, masih banyak candi-candi yang belum sempat kami kunjungi—atau bahkan sengaja kami lewati karena sudah sering ke sana; sebut saja Prambanan—seperti candi Kalasan, Plaosan, dan Pawon. Rasa-rasanya memang dibutuhkan waktu lebih dari satu hari untuk bisa mengunjungi semua candi yang berada di Jogja. Dan mungkin nantinya akan ada artikel #JelajahCandi Part 2 dst., tentu saja dengan objek candi yang berbeda dari sekarang.

Pegipegi.com: Cara Mudah Booking Hotel Online


Libur Lebaran udah deket nih. Mau liburan tapi bingung mau nginep di mana? Easy, fellas. With Pegipegi.com, now traveling is easy.

alasan-booking-di-PegiPegi.com

Dengan menggunakan sistem booking melalui internet, kalian bisa surfing, melihat jenis hotel berdasarkan lokasi dan range harga, testimoni hotel, dan fasilitas hotel. Kalian juga bisa mendapatkan info tambahan lokasi wisata/lokasi penting terdekat di sekitar hotel, kapan saja dan di mana saja. Tidak perlu repot-repot survey ke tempatnya langsung, cukup survey via smartphone/komputer dan kalian bakal dapet info lengkap hotel yang pas dengan kebutuhan dan keinginan kalian.

Untitled

Nah, selanjutnya, PegiPegi.com menyediakan metode pembayaran yang begitu beragam, mulai dari pembayaran via ATM, transfer bank, perbankanonline, hingga pembayaran via kartu kredit. Hal inilah yang membedakan PegiPegi.com dan menjadi keunggulan tersendiri dibanding situs booking hotel lainnya. Metode pembayaran yang disediakan sangat mengakomodasi kebutuhan warga Indonesia khususnya, yang pada umumnya belum memiliki kartu kredit sehingga proses booking hotel semakin mudah.

mo menarik. Karena bekerjasama dengan berbagai bank dan agen di Indonesia, jadi promonya juga banyak. Bahkan ada yang bisa mendapatkan diskon sampai 60%!

So, tunggu apa lagi? Just click the link below and book a hotel now!

Pegipegi Hotel

Menikmati Pagi dari 700 mdpl, Gunung Api Purba Nglanggeran


“Thousands of tired, nerve-shaken, over-civilized people are beginning to find out that going to the mountains is going home; that wildness is a necessity”

John Muir, Our National Parks

IMG_20150523_150649[1]

Aku nggak biasanya bangun pagi. Tapi hari itu, bahkan sebelum alarm HP-ku berbunyi, which is set to 5 a.m., aku udah bangun. Bukan…bukan karena sahur. Pagi itu aku dan adikku berencana melihat sunrise dari puncak gunung api purba Nglanggeran. Tidak perlu mandi. Cuci muka dan sikat gigi saja cudah cukup. Jam menunjukkan pukul 5. Ah, sudah kesiangan. Buru-buru kuambil kunci motor and vroom…off we go.

Butuh + 45 menit untuk sampai di Langgeran dari Jogja. Waktu yang cukup singkat, mengingat itu masih sangat pagi, belum banyak kendaraan yang lalu-lalang. Namun sepertinya kami sudah tidak bisa melihat sunrise. Pukul 6 kami sampai di area parkir dan sepertinya matahari sudah naik. Setelah memarkir motor, kami lalu membeli tiket masuk seharga Rp 5.000. Tiket di tangan dan pendakian pun dimulai.

IMG_20150526_094936[1]

Sebenarnya aku ini bukanlah termasuk anak pecinta alam yang sudah mendaki banyak gunung. Dibanding adikku yang sudah pernah mendaki Prau dan Merbabu, tentu pengalamanku yang baru pernah naik Bukit Sikunir dan Gunung Gambar ini tentu tidak ada apa-apanya. Aku bukan juga tipe orang yang rajin olahraga. Jadi jelas, belum sampai setengah perjalanan aku sudah terengah-engah—what a shame!. However, surrender isn’t in my dictionary. Walau mesti berhenti berkali-kali, pendakian tetap berlanjut.

2015-06-23%2006.43.13%201[1]

Setengah jam kemudian kami sampai di puncak. What a relieve! Perjuanganku ternyata nggak sia-sia. Tidak mendapatkan sunrise pun tidak masalah. Pemandangan yang kami dapatkan dari atas gunung sungguh luar biasa; embung Nglanggeran yang biru, pohon-pohon hijau, sampai tower-tower provider yang berdiri kokoh di antara hamparan sawah yang hijau.

2015-05-23%2012.39.47%201[1]

2015-05-23%2012.39.52%201[1]

Untuk waktu yang cukup lama kami hanya duduk diam, menikmati pagi dari puncak tertinggi Gunnungkidul. Menikmati suara kicauan burung, semilir angin gunung, sinar matahari pagi hingga kabut pagi yang menyelimuti bumi pagi itu mulai menghilang digantikan hijaunya hutan yang disembunyikannya.

IMG_20150523_125345[1]

Hari makin siang, matahari makin terik, dan suasana makin ramai—sudah makin banyak pengunjung. Perut kami pun sudah lapar. Tandanya kami harus segera turun.

Dibandingkan saat mendaki, waktu yang dibutukan untuk turun jauh lebih cepat. Namun, karena tidak terbiasa dengan kegiatan fisik yang berat, acara turun gunung harus disertai kaki yang tremor—maklum, pendaki amatir. Sekitar pukul 9 kami sampai di area parkir dan langsung memutuskan untuk pulang.

Overall, pendakian ke Nglanggeran kemarin cukup melelahkan tapi juga menyenangkan. Recommended deh buat kamu-kamu yang suka nature dan baru belajar naik gunung. Dijamin nagih!

Transportasi dari Jogja ke Wonosari


HOW TO GET TO WONOSARI

Belakangan ini banyak banget komen yang masuk ke blog-ku, menanyakan perihal transportasi ke Wonosari dari Jogja. Padahal nih, aku cuma pernah sekali doang nge-post artikel tentang pengalaman pulang kampung ke Wonosari pake bus. Nggak disangka-sangka, gara-gara itu, banyak banget respon yang masuk. Nah, untuk memuaskan keingintahuan kalian-kalian tentang hal itu, pada postingan kali ini aku bakal ngebahas topik transportasi Jogja-Wonosari.

Secara umum ada 2 cara untuk mencapai Wonosari, pake kendaraan pribadi (motor atau mobil) atau transportasi umum. Nah, kalau kendaraan pribadi rasanya udah nggak perlu kubahas panjang lebar di sini, asal punya kendaraan dan tau jalan semuanya pasti beres. Yang pasti, kendaraan yang kamu tumpangi ini harus dalam kondisi prima. Cek kondisi kendaraan, dari mulai lampu, klakson, ban, rem, sampai bensin. Jangan sekali-kali bawa kendaraan ‘sakit’ ke Wonosari kalau nggak mau tiba-tiba mogok di jalan – mengingat jalan Jogja-Wonosari yang menanjak dan banyak tikungan tajam.

Untuk transportasi umum, tentunya hanya ada bus. Tarif bus Jogja-Wonosari ini adalah Rp 7.000 – bisa naik kalau pas musim mudik Lebaran atau Natal. And FYI, bus Jogja-Wonosari ini nggak beroperasi 24 jam – kurang lebih beroperasi dari jam 05.30 – 19.00 WIB. Nah, untuk naik bus jurusan Jogja-Wonosari ini kalian harus ke terminal Giwangan atau ringroad Ketandan – bus Jogja-Wonosari nggak beroperasi di dalam kota (Jogja). Ada beberapa alternatif cara untuk bisa sampai ke dua tempat tersebut.

  1. Naik Trans Jogja. Trans Jogja ini adalah bus kota ukuran sedang. Dibanding  bus kota pada umumnya, TJ (sebutan untuk Trans Jogja) ini relatif lebih aman dan nyaman (ber-AC) dengan tiket Rp 3.000 untuk sekali jalan. TJ ini memiliki 6 jalur khusus yang beroperasi setiap hari mulai jam 05.30 – 21.30 WIB. Karena semua jalur TJ akan berakhir di terminal Giwangan, kalian bisa naik TJ jalur apa saja, dari shelter mana saja. Nah, setelah turun di terminal Giwangan, kalian lalu bisa ganti bus Jogja-Wonosari. Keuntungan kalau naik dari terminal adalah, yang pasti, kalian nggak bakal kehabisan tempat duduk. Tapi nih, ruginya, kalian masih bakal nunggu lama sebab bus Jogja-Wonosari ini masih bakal ngetem di ringroad  Ketandan sebelum akhirnya melaju menuju Wonosari.
  2. Naik Bus Kota. Hampir sama dengan TJ, semua bus kota bakal berakhir di terminal Giwangan. Jadi mau naik bus jalur apa pun kalian pasti bakal sampai di terminal. Bedanya, selain tarif bus – tarif bus kota reguler untuk penumpang umum adalah Rp 2.500 sekali jalan, kita bisa langsung turun di Ketandan (nggak harus ke terminal) lalu naik bus Jogja-Wonosari yang ngetem di sana. Dengan begitu, kita bisa hemat waktu. Tapi nih, nggak semua jalur bus kota lewat Ketandan. Kalau mau turun di Ketandan, kalian harus naik jalur 4, 6, 9, 11, atau 14 (info lebih lanjut di http://www.transportasiumum.com/content/trayek-bis-kota-yogyakarta). Tapi nih, kalau mau naik bus kota, kalian berangkatnya jangan kesorean karena bus kota hanya beroperasi sampai + jam 5 sore (perhatikan juga jarak tempuh dan waktu yang dibutuhkan untuk sampai tujuan).

Karena bus Jogja-Wonosari hanya beroperasi sampai + jam 7 malam, ada beberapa alternatif transportasi lain kalau memang terpaksanya kalian harus ke Wonosari pada malam hari. Hanya saja, dibandingkan naik bus, tarif transportasi alternatif ini jauh lebih mahal.

  1. Naik Taksi. Taksi biasanya jadi pilihan utama para pemudik/pelancong yang sudah kemalaman sampai di Jogja dan hendak ke Wonosari. Biasanya, taksi-taksi yang mau naik (ke Wonosari) adalah taksi-taksi yang biasa ngetem di ringroad Ketandan atau di terminal Giwangan. Berbeda dengan taksi biasanya, tarif taksi ini nggak dihitung pake argo tapi berdasar ‘kesepakatan’ antara si calon penumpang dan sopir taksi – istilahnya charter alias sewa. Walaupun berdasar ‘kesepakatan’, para sopir taksi ini sudah punya ‘tarif dasar’Rp 100.000-Rp 150.000. Jadi, mereka ini nggak bakal mau nganterin kalo kita nawarnya di bawah ‘tarif dasar’ ini. FYI, taksi-taksi ini beroperasi 24 jam.
  2. Naik Travel Jogja-Pacitan. Belakangan ini jalan Jogja-Wonosari dijadikan jalan alternatif travel-travel yang menuju Pacitan. Nah, tarif travel ini lebih murah dibanding naik taksi – Rp 60.000 – walau dipikir-pikir rugi juga karena dikenakan tarif full (info lebih lanjut di http://darisjati.wordpress.com/2012/08/13/travel-jogja-wonosari-gunungkidul/).

map1 map2

Pertanyaan-pertanyaan lain yang sering disampaikan lewat komen adalah bagaimana setelah sampai di Wonosari. Bus, Jogja-Wonosari ini akan berakhir di terminal Wonosari yang terletak di Selang. Ini adalah terminal baru yang beroperasi belum lama. Terminal lama yang terletak di jalan Baron sudah tidak difungsikan lagi, oleh karena itu banyak jalur bus kota yang berubah. Nah, karena itu, aku nggak bisa ngasih banyak penjelasan tentang transportasi umum dalam kota. Yang aku tau, penumpang bus Jogja-Wonosari yang tujuan akhirnya bukan kota Wonosari sebaiknya turun di terminal atau Siyono. Kalau tempat tujuan kalian masih jauh dari Siyono atau Wonosari, aku sarankan kalian turun di terminal saja. Di sana ada banyak bus atau angkot. Kalau nggak tau mesti naik jalur apa, jangan malu buat tanya. Aku yakin kalian bakal dapet informasi yang berguna.

Nah, kalau tujuan kalian adalah daerah dalam kota atau dekat-dekat Siyono aja, kusarankan kalian turun di Siyono. Kalau cuma dekat kalian bisa naik ojek (di sana ada pangkalan ojek). Pilihan lain, kalian bisa naik angkot kecil yang biasa ngetem di sana. Jalurnya, tinggal pilih saja. Sekali lagi, kalau memang nggak tau jalur, jangan malu buat bertanya. Nah, untuk tarif ojek (dalam kota) biasanya antara Rp 10.000 – Rp 15.000, bisa lebih kalau jaraknya lebih jauh. Kalau tarif angkot – terakhir aku naik angkot sekitar 5 tahun lalu – aku nggak banyak tau. Mungkin sih berkisar Rp 2.500 – Rp 3.000 sekali jalan.

Biasanya bus Jogja-Wonosari tidak akan lewat tengah kota (alun-alun, kantor pos, pasar). Tapi kalau sampai Wonosari-nya sudah malam (jam 6-an ke atas), bus Jogja-Wonosari akan lewat kota — walau tetap tidak lewat alun-alun. Jalurnya adalah Siyono – Kepek – Pasar Pring – Jeruk/Rumah Sakit – Balai Desa Wonosari – Simpang Lima Baleharjo/Proliman – Gereja Wonosari – Polres Wonosari. Aku nggak tau bus itu akan berakhir di mana sebab biasanya aku akan turun di depan gereja.

Nah, itu semua yang bisa aku bagikan tentang ‘How to Get to Wonosari’. Semoga bisa membantu, ya.

Exploring Dieng: A 2D1N Tour


vacation

Bagi para traveler, Mei tahun ini menjadi bulan yang meyenangkan. Pasalnya, banyak tanggal merah betebaran. Well, aku juga nggak mau dong menyia-nyiakan tanggal-tanggal merah itu dengan berdiam diri aja di rumah. Kuputuskan untuk sejenak beranjak dari rutinitas dan pergi berlibur.

Yang menarik dari liburan kali ini adalah semuanya dipersiapkan secara dadakan. Bahkan, bisa dibilang tidak ada persiapan sama sekali. Awalnya nih, aku cuma lihat-lihat foto temen di facebook waktu mereka liburan si Sikunir lalu kutunjukkan pada beberapa teman sekantor. Udah lama sih sebenernya aku pengen ke sana, cuma belum ada waktu, biaya, sama temen yang mau diajak. Eh, ternyata… temen-temen sekantorku ini tertarik juga dan singkat cerita, berangkatlah kami ke Dieng.

Kami berempat (cewek semua) pun memutuskan untuk liburan semi-backpacker. Alasannya, itu kali pertama kami melakukan perjalanan wisata sendiri (tanpa ortu atau orang yang mengkoordinir). The cost was more expensive but we’re looking for safety and comfort.

Tanggal 25 pagi kami berangkat dari terminal Condong Catur, Jogja menggunakan shuttle bus Sumber Alam. Kira-kira jam 9 kami berangkat dan setelah kurang lebih 3 jam perjalanan, kami sampai di kota Wonosobo — pemberhentian pertama sebelum ke Dieng. Tak lama kemudian kami dijemput oleh tour guide, yang sudah kami sewa sebelumnya. Karena perut kosong, kami pun minta diantarkan ke warung makan.

Setelah kenyang, kami pun diantar ke homestay di mana kami akan menginap. Dalam perjalanan, kami disambut hujan deras. This was something which I couldn’t see in Jogja, which is very hot lately. Dan karena hujan itu pula, kami hanya menghabiskan malam di kamar homestay.

Jam 2 pagi kami semua bangun karena kami harus berangkat ke Sikunir jam 3. Kami nggak mandi, tentu saja, bukan hanya karena itu masih terlalu pagi, tapi karena air dan cuacanya begitu dingin. And we went to Sikunir right at 3 o’clock. The road was very narrow, dark, and quiet. And thanks God we had a skilled driver — we barely could see the road because of the thick fog.

It took 30 minutes from Wonosobo to Sikunir, so we arrived there at half four in the morning. And believe me, it’s sooo cold there. I’ve already worn 3 layers of clothes — t-shirt, jumper, and thick jacket — but I still felt the cold.

Setelah tubuh mulai terbiasa dengan cuaca di sana, kami berempat pun naik ke bukit Sikunir ditemani tour guide kami. Berbekal senter di tangan, kami memulai perjalanan naik bukit kami bersama dengan para pendaki yang lain. Karena sudah jarang berolahraga, dan pendakian terakhirku adalah ketika SMA, praktis — walau ini cuma naik bukit — napas mulai ngos-ngosan walau baru setengah perjalanan. Pendakian makin terasa berat ketika trek mulai menanjak dan tidak bersahabat. The track was slippery because of the rain the night before. Alhasil kami harus berhenti beberapa kali selama pendakian — mengumpulkan tenaga. However, perjalanan yang cukup melelahkan itu terbayar ketika kami mencapai puncak. Apalagi ketika kami bisa melihat si golden sunrise secara langsung. It was an amazing moment.

golden sunrise

Kira-kira jam setengah 7 kami turun lalu melanjutkan perjalanan ke Telaga Warna. Untuk masuk obyek wisata Telaga Warna ini kami harus mengeluarkan uang sebanyak 2K per orang — harga yang sangat murah menurutku. Selain bisa melihat Telaga Warna yang berwarna biru-kehijauan, kami juga bisa melihat Telaga Pengilon — yang letaknya tepat di belakangnya — serta gua-gua yang berada di sekitar Telaga Warna.

Setelah puas berkeliling-keliling Telaga Warna, kami pun melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang. Di sana kami harus membeli tiket seharga 10K, yang merupakan tiket terusan ke kawasan Candi Dieng.Tidak banyak yang bisa dilihat di sini, hanya kumpulan kawah-kawah kecil dan sebuah kawah besar. Bagi yang punya penciuman sensitif, Kawah Sikidang ini mungkin bukan obyek wisata yang recommended sebab bau belerang/sulfur di sini sangat menusuk — seperti bau telur busuk.

playing

Kami tidak lama berada di kawasan kawah Sikidang — karena bau belerangnya benar-benar menusuk hidung. Setelah berfoto-foto sebentar, kami lalu menuju kompleks Candi Dieng. Karena sudah beli tiket terusan tadi, kami tidak perlu beli tiket lagi dan tinggal menunjukkan tiket yang sudah kami beli tadi. Walau tidak sebesar Borobudur dan tidak semegah Prambanan, candi-candi di kawasan Candi Dieng ini punya daya tarik tersendiri. Cuaca yang dingin dan banyaknya pepohonan dan taman yang cantik di sekitar candi, membuat pengunjung betah bermain-main di sana. Uniknya lagi, selain candi-candi yang berdiri kokoh di sana, masih ada beberapa candi lain yang masih dalam proses ekskavasi (penggalian). Jadi, bagi para arkeolog, kawasan Candi Dieng ini merupakan obyek yang menarik.

Our vacation wasn’t ended there. Dari kawasan candi, kami diajak ke sebuah kebun teh. It was my first time. And it was awesome. Dari sana kami juga bisa melihat telaga Menjer — sebuah telaga buatan yang digunakan untuk irigasi — dari atas. Katanya, kalau mau, kami bisa wisata naik perahu mengelilingi telaga. Tapi karena sudah siang dan kami sudah lapar, kami memutuskan untuk pulang saja.

Dan benar saja, jam 12, sesampainya kami di homestay kami langsung disuguhi makan siang. Tanpa malu-malu kami langsung menyantap habis nasi, sop, tempe, dan ayam goreng yang disajikan di meja makan. Perut kenyang, kami pun kembali ke kamar untuk beristirahat. Beberapa dari kami ada yang langsung mandi, ada pula yang memilih untuk tidur.

Setelah packing, kira-kira jam 3 sore kami check out. Masih diantar tour guide kami, sebelum pulang kami mampir beli oleh-oleh. Nah, karena malam sebelumnya kami tidak sempat muter-muter kota Wonosobo, sore itu, sebagai obat kecewa, kami menyempatkan diri berfoto di depan alun-alun kota Wonosobo — sebagai pengingat saja kalau kami pernah berkunjung ke sana.

Dari alun-alun kami lalu diantar ke pool-nya Sumber Alam, yang ternyata letaknya tidak jauh dari alun-alun. Jam lima lebih sedikit, shuttle bus menuju Jogja berangkat dan berakhir pulalah wisata kami. Tepat pukul 8 malam kami sampai di terminal Condong Catur, Jogja. Lalu dengan Trans Jogja, kami pun pulang ke kos kami masing-masing.

Nah, buat kalian-kalian yang pengen juga berwisata kayak kita, ini nih rincian biayanya:

  • Transportasi dalam kota (Trans Jogja) PP = 6K
  • Transportasi Jogja-Wonosobo PP = 90K
  • Penginapan/homestay + makan = 200K/4 orang (1 kamar, 2 bed)
  • Sewa mobil + tour guide = 500K/4 orang 
  • HTM Telaga Warna = 2K
  • HTM Kawah + Candi = 10K

Total biaya (1 orang) = 283K*

*Belum termasuk beli oleh-oleh dan makan di luar homestay